“Bungong
jeumpa, bungong jeumpa meugah di aceh …
Bungong teuleubeh-teuleubeh
indah lagoina
Bungong jeumpa, bungong
jeumpa meugah di aceh …
Bungong teuleubeh-teuleubeh
indah lagoina
Puteh kuneng , meujampu
mirah
Bungong si ulah indah
lagoina
Puteh kuneng , meujampu
mirah
Bungong si ulah indah
lagoina
Lam sinar buleun, lam sinar
buleun angen peu ayon ...
Duroh meususon , meususon
yang mala mala
Mangat that mubee , meunyo
tatem com
Leumpah that harom si
bungong jeuma
Mangat that mubee , meunyo
tatem com
Leumpah that harom si
bungong jeuma”
Senandung
lagu itu masih terngiang di telingaku sampai sekarang. Pertama sekali lagu itu kudengar dinyanyikan oleh teman sebangkuku di MTs tahun 2002 silam, Maulidyana. Diana,
begitulah aku memanggilnya. “Kau tahu Sarah? Aceh itu sangat indah. Walaupun
aku terlahir sebagai orang Jawa. Aku begitu mencintai Aceh. Kami sekeluarga
harus meninggalkan Aceh dan akhirnya menetap di kota ini, kembali ke Medan.
Padahal di Aceh kami sudah hidup lumayan, serba kecukupan namun apa daya. Kami
diusir meninggalkan tanah yang indah itu. Aku masih ingat betul, bagaimana
bunyi suara senapan dan orang yang berteriak ketakutan, termasuk aku. Aku,
kakak, adik dan kedua orangtuaku berlari ke tempat yang lebih aman untuk
menghindari GAM. Nanti, kalau Aceh sudah aman seperti semula aku kenal, kami berjanji akan ke sana lagi.
Sarah harus pergi ke sana dan melihat bagaimana Aceh ya.” Cerita Diana sambil
meneteskan air mata di bangku sekolah dalam kelas.
Aceh,
dahulu aku mengenalnya sebagai Daerah Istimewa Aceh. DI Aceh dengan ibukota
Banda Aceh. Namun, namanya berubah menjadi Nangroe Aceh Darussalam pada tahun 1999-2001. Pada tahun 2001 berubah nama lagi menjadi Aceh sampai sekarang. Aku banyak
mengetahui Aceh dari cerita Diana, temen sebangkuku waktu duduk di kelas 1 MTs. Diana sendiri sekarang menetap di kota Medan bersama suami. Dari lama, aku ingin sekali pergi ke Aceh namun keinginan itu harus tertunda
bertahun-tahun. Sampai akhirnya, Februari tahun 2014 ini. Aku bisa menjejak juga di bumi
Darussalam. "Diana, akhirnya aku bisa ke Aceh." ujarku dalam hati.
Aku
dan tiga orang temanku pergi ke Aceh dengan menggunakan Bus Simpati STAR dari kota
Medan. Kami berangkat tanggal 29 februari pukul 20.00 WIB. Dengan harga tiket
150 rupiah. Supir bus pun berjanji akan mengantarkan kami sampai ke Pelabuhan
Ulee Lheue. Karena rencana dari awal kami adalah Sabang maka kami langsung
menuju ke Pelabuhan untuk menyebrang tanpa jalan-jalan mengelilingi kota Banda
Aceh terlebih dahulu. Kami akan mengelilingi kota Banda Aceh selepas dari
Sabang.
Mentari
mulai terbit, langit Aceh bercahaya dan hangat. Pukul setengah delapan pagi
kamipun sampai di Banda Aceh. Kota itu terlihat begitu teduh dan cantik.
Anak-anak sekolah sudah mulai berpakaian rapi, para pekerja sudah sibuk
memenuhi jalan agar cepat-cepat sampai di kantornya masing-masing. Cerita Diana
benar, bahwa Aceh sungguhlah indah. Kami hanya melewati kota ini sejenak, belum
bisa bercengkrama lebih erat lagi, karena tujuan kami adalah langsung ke
pelabuhan Ulee Lheue. Sesampainya di pelabuhan, aku segera menuju loket untuk
membeli tiket kapal. Di ruang tunggu pelabuhan, kami tak sengaja di sapa salah seorang bapak dengan seranggam dinasnya. "Mau ke Sabang" tanyanya. "Iya Pak, jawabku" Dia memperkenalkan diri sebagai kepala Pelabuhan Ulee Lheue tanpa dimintai keterangan, beliau menjelaskan sejarah pelabuhan ini dan jadwal keberangkatan kapal. Aku membeli tiket kapal express dengan jadwal
keberangkatan pukul 9.30 WIB dan sampai di Sabang pukul 10.15 WIB. Sebelum
berangkat, aku dan teman-teman membeli nasi dengan lauk ayam di kantin dekat
pelabuhan untuk sarapan. Selesai sarapan, kamipun bersiap-siap untuk menyebrang
ke pulau Sabang.
Pelabuhan Ulee Lheue
Mengobrol bersama Pak Ampon (Kepala Pelabuhan Ulee Lheue)
Di
kapal, aku melihat hamparan air laut yang biru. Sangat indah sekali, sinar mentari
mengenai air laut ibarat permata yang bercahaya. Ini Aceh, tempat yang sangat
indah sekali dan tetiba senandung lagu bungong jeumpa dari Diana mengalun
kudengar di telinga. Ya, aku meneteskan air mata. “Akhirnya, aku sampai di sini
Diana. Di negeri indah yang engkau ceritakan” batinku.
Pukul
10.15 WIB, kamipun sampai di Sabang. Kami belum tahu harus menuju ke mana.
Menurut cerita seorang teman di dekat pelabuhan ini akan banyak jasa mobil
carteran yang akan membawa kita kemanapun di Sabang ini. Setelah berjalan
meninggalkan pelabuhan. Ada seorang bapak, pak Bidin namanya menawarkan
mobilnya untuk kami sewa. Entah mengapa tak lama kemudian dengan tawar menawar
sebentar, akhirnya kami memilih pak Bidin sebagai supir kami selama di Sabang.
Pak Bidin membawa kami ke penginapan di tengah kota Sabang. Selain menjadi
supir ternyata dia menjadi guide kami selama di perjalanan ini. Ibarat seorang
Ayah yang menjelaskan kepada anak-anaknya yang mempunyai rasa ingin tahu pada
kota ini. Setelah menemukan penginapan yang nyaman, kamipun istirahat sebentar.
Pak Bidin berjanji kepada kami, jam 2 siang beliau akan datang kembali untuk
membawa kami keliling Sabang. Jam 2 tepat kami dan Pak Bidin mengelilingi kota
Sabang dengan pantai-pantainya yang sangat indah sekali dan danau-danau yang
cantik. Dari Pantai Sumut Tiga, Pantai Kasih, Pantai Tapak Gajah dan
pantai-pantai lainnya yang sangat indah sekali. Setelah mengitari pantai,
kamipun ingin melihat sunset di Pantai Anoi Itam. Selesai melihat sunset,
kamipun bergegas menuju penginapan kembali untuk menunaikan shalat Maghrib dan
bersih-bersih. Pada malam harinya, aku dan teman-teman pergi ke kota untuk
melihat suasana kota di malam hari. Pak Bidin sendiri berjanji akan membawa
kami jalan-jalan mengeliling Sabang lagi keesokan harinya. Jam 7 pagi, ia
berjanji akan datang kembali ke penginapan.
Pantai Sumur Tiga
Pantai Sumur Tiga dengan Batu Karangnya
Pantai di Gua Jepang
Jam
07.00 WIB, Pak Bidin membawa kami ke titik 0 km Indonesia. Sebelum sampai ke
titik 0 km, Pak Bidin membawa kami ke Pantai Gapang. Pantainya sangat indah
sekali dengan hamparan pasir putih, air laut yang hijau tosca dan pohon-pohon
kelapa yang nyiur melambai. Setelah puas bermain ombak di Pantai Gapang, pak
Bidin membawa kami ke titik 0 km. Di titik km ini, kami bisa memfoto dengan
latar belakang samudera Hindia yang sangat dalam dan luas. Di titik 0 km ini,
selesai puas berfoto kami menyempatkan memakan kelapa bakar dan pisang goreng
yang enak sekali. Setelah makan, dari
titik 0 km kemudian pak Bidin akan membawa kami ke pantai iboih. Melewati jalan
yang agak mendaki dan terdapat hutan di kanan kiri jalan kamipun menuju Iboih.
Sesampainya di sana. Kamipun berencana menyebrang ke Pulau Rubiah untuk
snorkeling. Dengan menyewa kapal, kamipun meninggalkan pantai Iboih untuk
menuju Pulau Rubiah. Sesampainya di Pulau Rubiah, kamipun bersegera menggunakan
peralatan menyelam yang kami sewa di pantai Iboih tadi. Bermain dengan
ikan-ikan yang cantik adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Inilah sepotong
syurga di Indonesia dan terletak di bumi Aceh. Aceh sangat indah sekali.
Setelah puas bersnorkeling, kamipun bergegas kembali ke Pantai Iboih dan
kembali ke penginapan. Sesampainya di penginapan, kamipun beristirahat. Selepas
shalat Isya kamipun pergi ke kota untuk mencicipi kuliner khas kota Sabang.
Dari sate gurita, bebek bireun dan makanan lainnya. Selesai puas berwisata
kuliner, kamipun bergegas ke penginapan. Malam ini adalah malam terakhir di
Sabang dan esok pagi kami akan kembali menuju kota Banda Aceh.
Pantai Iboih
Pukul
07.00 WIB, kami check out dari penginapan dan pak Bidin membawa kami menuju
pelabuhan untuk meninggalkan Sabang. Sebelum meninggalkan kota yang indah ini,
kami berpamitan kepada pak Bidin yang sudah seperti Ayah angkat bagi kami.
Sedih rasanya untuk meninggalkan kota ini, aku berjanji aku akan kembali lagi
ke kota yang penuh pesona ini. Kamipun menuju kapal yang besar dan siap-siap
berlayar menuju Pelabuhan Ulee Lheue kembali untuk jalan-jalan di kota Banda
Aceh. Di atas kapal. Aku sangat menikmati laut yang bersinar terkena cahaya
matahari yang bergerak semu semakin meninggi. Sekitar Jam 11.00 WIB, kami
sampai di Pelabuhan Ulee Lheue. Dari Pelabuhan Ulee Lheue, kami sudah menyewa
mobil untuk membawa kami mengitari kota Banda Aceh, kota Madani. Kami harus
memanfaatkan 8 jam tersisa karena malam ini
juga kami akan pulang ke kota Medan.
Fajar di Banda Aceh
Sebelum mengitari kota Banda Aceh, kami mampir ke rumah makan khas aceh untuk makan siang. Gulai kepala ikan dan Pliek U adalah makanan khas yang mempunya cita rasa tinggi. Selain itu kami juga memesan secangkir kopi hangat khas Aceh yang sangat harum sekali. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju wisata kapal Apung di pusat kota, setelah berjalan-jalan di sekitar kapal apung kamipun menuju Museum Tsunami yang sangat indah sekali dalam segi arsitekturnya. Ridwan Kamil, sang arsitektur begitu jenius membuat rancangan yang luar biasa indahnya untuk mengenang korban tsunami tahun 2004 silam. Museum ini menjadi saksi bagaimana kuasa Tuhan jika ia sudah berkehendak. Al Fatihah....
PLTD Apung di Banda Aceh
Museum Tsunami Banda Aceh
Selesai
di Museum, kami pun menuju Mesjid Baiturrahman. Mesjid kebanggaan orang Aceh.
Mesjid yang sangat terkenal dengan keindahannya sampai ke Asia Tenggara. Hatiku
tiba-tiba teduh, melihat kubah hitam dan dinding putih yang seolah bercahaya
mengenai mataku. Sayang hari ini aku lagi menstruasi dan tidak bisa menjalankan
shalat di dalam mesjid. Aku hanya bisa memandang ornamen mesjid dari luar dan
berjalan ke sisi kolam dan menara gagah di sekitar mesjid. Banyak sekali orang
yang berkunjung ke sini. Tidak hanya
orang Aceh atau turis dalam negeri namun telihat juga ada beberapa wisatawan
asing. Mesjid ini juga menjadi saksi bagaimana musibah tsunami yang begitu
dahsyat menimpa kota Banda Aceh. Mesjid ini tetap kokoh berdiri meskipun
dahsyatnya berliter-liter aliran air laut karena tsunami. Selesai melihat
keindahan Mesjid Baiturrahman kamipun menuju Pantai Lhok Nga.
Pak
supir membawa kami menuju Pantai Lhok Nga, di pantai inilah tsunamipun memporak
porandakan kehidupan sekitar pantai. Di Pantai ini garis pantainya sangat
panjang, hamparan pasirnya sangat bersih, di pantai ini aku menikmati air
kelapa yang sangat manis dan segar sekali. Kami meikmati pantai Lhok Nga sampai
jam 4 sore. Selesai menikamti indahnya pantai Lhok Nga dan asyik berfoto-foto,
kami akan melanjutkan perjalanan menuju ke Pantai Lampuuk. Kamipun bergegas
menuju pantai Lampuuk, sebelum sampai di pantai Lampuuk, pak supir membawa kami
ke rumah Cut Nyak Dien, rumah adat Aceh
ini. Selesai melihat rumah yang kaya akan bersejarah ini, kamipun melanjutkan
perjalanan ke pantai Lampuuk untuk melihat sunset di sana. Ternyata Pantai
Lampuuk juga tidak kalah indah dengan pantai Lhok Nga. Di sini kami menikmati
pantai yang sangat indah, pantai biru sangatlah sulit untuk ditemui di kota
kami, Medan. Di Aceh kami sangat senang meihat birunya air laut yang jernih,
pasir yang putih, ombak yang gemulai dan angin sepoi khas pantai.Pantai-pantai
yang ada di Nangroe Aceh Durussalam pastilah tidak pernah kami lupakan. Semua
pantainya indah. Puas menikmati sunset, kamipun bergegas meninggalkan pantai
dan menuju terminal. Rasa sedih di hati, karena harus meninggalkan kota ini
dengan cepat. Seharipun belum kami mengelilingi Banda Aceh namun kami harus
segera meninggalkannya. Sesampainya di terminal, kamipun membeli tiket bus
untuk keberangkatan menuju kota Medan, rumah kami. Jam 20.00 WIB, bus pun
memulai perjalanannya menuju kota Medan. Kami pulang dan Aceh menjadi memori
yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Dan ketika aku melihat langit
Aceh yang penuh bintang itu, senandung Diana menemaniku meninggalkan kota ini
dengan pesnuh pesona dan cinta. Izinkan aku kembali ke kota ini, ya Allaah.
Aamiin
“Bungong
jeumpa, bungong jeumpa meugah di aceh …
Bungong teuleubeh-teuleubeh
indah lagoina
Bungong jeumpa, bungong
jeumpa meugah di aceh …
Bungong teuleubeh-teuleubeh
indah lagoina
Puteh kuneng , meujampu
mirah
Bungong si ulah indah
lagoina
Puteh kuneng , meujampu
mirah
Bungong si ulah indah
lagoina
Lam sinar buleun, lam sinar
buleun angen peu ayon ...
Duroh meususon , meususon
yang mala mala
Mangat that mubee , meunyo
tatem com
Leumpah that harom si
bungong jeuma
Mangat that mubee , meunyo
tatem com
Leumpah that harom si
bungong jeuma”
Medan, 30 April 2014