Tiga Danau di Taman Wisata Alam Sicike-cike, Surga Anggrek yang terpencil.
Berbicara
mengenai Indonesia memang tak akan habisnya dalam berlembar-lembar tulisan pada
sebuah buku.Hal ini, karena negara Indonesia memiliki wilayah luas dan terdiri
dari pulau-pulau yang yang sangat banyak dan masing-masing punya keunikan
tersendiri baik masyarakat, adat istiadatnya, keanekaragaman budaya dan hal
apapun yang sangat luar biasa. Untuk menuliskan sesuatu yang melekat dengan
Indonesia merupakan tantangan yang sangat menarik. Sebagai Mahasiswa Biologi USU yang berdomisili di Medan, saya merasa
sangat minim sekali dalam mempelajari adat budaya bahkan alam Indonesia secara
langsung. Melihat dan merasakannya. Saya
masih menjejakkan kaki hanya di seputaran Sumatera Utara. Itupun, belum semua
tempat yang lekat dengan Sumatera Utara bisa saya jejaki dan pahami.
Namun
kali ini, saya akan bercerita tentang sebuah pengalaman yang sangat berarti
untuk saya. Pengalaman yang tidak pernah telupakan. Lima hari berkunjung di
Hutan TWA Sicike-cike tahun 2008 lalu. Lima hari untuk sedikit memahami. Karena
pengalaman ini membut saya mengerti mengenai sedikit potongan mozaik-mozaik
yang sangat lekat dengan Indonesia. Ya, hanya beberapa mozaik diantara mozaik
yang masih banyak bisa ditemukan di sudut bumi Indonesia lainnya. Dan mozaik
itu pastinya terdapat diantara Sabang sampai Meuroeke.
Di
Sumatera Utara terdapat beberapa danau. Salah satu yang paling terkenal adalah
Danau Toba. Siapa yang tidak kenal dengan danau yang satu ini. Danau Toba
merupakan Danau terbesar di Indonesia. Bahkan alamnya terkenal sampai
mancanegara. Namun selain Danau Toba. Sumatera Utara juga mempunyai beberapa danau
yang tak kalah cantiknya yaitu Danau Lau KAwar, Danau Siais dan tak ketinggalan
pula Tiga Danau di TWA Sicike-cike yang
sangat luar biasa cantik topografinya. Bahkan, saya yang sudah lahir dan besar
di Medan, baru mengenal danau ini ketika saya berumur 21 tahun. Saya merasa
beruntung dalam menjejaki TWA yang satu ini. TWA sicike-sike, surga anggrek
yang tersudut, terpencil, karena banyak orang yang belu kenal tempat yang
eksotis ini.
Kenapa
kami menyebutnya sebagai surga anggrek yang tersudut dan terpencil? Saya akan
memaparkan perjalanan saya dengan teman-teman ke TWA sicike-cike.
***
Secara
administratif, Taman Wisata Alam Sicike-cike termasuk Desa Pancar Nuli,
Kecamatan Sitinjo, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Pada umumnya
keadaan topografi lapangan TWA Sicike-cike sebagian bergelombang berat dan
sebagian bergelombang sedang dan ringan, dengan ketinggian antara 1.500-2.000 m
dpl.
Keadaan vegetasi di
TWA Sicike-cike merupakan hutan hujan tropis pegunungan dengan jenis-jenis
tumbuhan antara lain Samponus bunga (Dacrydium
junghuhnii), Kemenyan (Styrax benzoin),
Kecing (Quercus sp) dan Haundolok (Eugenia sp) dan terutama tumbuhan dari
jenis anggrek dan Nephentes. Selain flora terdapat beberapa jenis satwa yang
dapat dijumpai antara lain beruang madu, kambing hutan, harimau, babi hutan dan
rusa dan beberapa jenis unggas yang terdapat si sekitar TWA tersebut.
Di samping keadaan
alamnya sendiri yang sanagt potensial sebagai tempat wisata juga terdapat
beberapa obyek yang dapat dinikmati, antara lain keindahan danau, gejala alam
dan lain sebagainya. Beberapa kegiatan wisata yang dapat dilakukan antara lain
adalah lintas alam, berkemah serta foto hunting. Hutan Taman Wisata Alam
Sicike-cike, dengan potensi flora dan fauna yang dapat dijadikan sebagai
laboratorium penelitian hutan. Keberadaan kawasan ini juga memberikan manfaat
bagi penduduk sebagai sumber air resapan, bila dikembangkan akan menjai obyek
wisata yang potensial pada masa mendatang.
Tetapi perbukitan ini
lebih penting scara ekologis karena tiga buah sungai yaitu Lae Pandaroh, Lae
Simblln, dan Lae Mbilulu berhulu disana. Air minum dan irigasi di tiga
kecamatan sangat tergantung pada kelestarian Hutan Sicike-Cike.
Adanya danau-danau di Sumatera selalu saja
mempunyai legendanya masing-masing. Masyarakat di sekitar danau pasti mempunyai
legenda yang sangat ajaib dan menari tentang asal-usul terjadinya danau
tersebut. Walau berbeda-beda kisah yang menyertainya akan tetapi semua cerita
itu mengandung pesan moral, nasehat untuk anak cucu agar selalu melakukan
kebaikan kedepannya. Tidak hanya di Sumatera, bahkan di bagian Indonesia
lainnya juga seperti itu mengandung pesan-pesan yang kuat dari semua legenda,
cerita yang ada.
Pada
tahun 2008. Saya dan teman-teman satu angkatan didampingi oleh beberapa dosen
Biologi FMIPA USU mengunjungi lokasi yang unik ini. Tiga Danau di TWA Sicike-cike yang terletak di Kabupaten
Dairi adalah sebuah rawa dataran tinggi seluas 575 hektar. Perjalanan ditempuh
sekitar enam jam dengan mengendarai Bus Sinabung. Adapun, rute yang kami lewati
adalah Medan-Berastagi-Kabanjahe-Merek-Sumbul-Taman Wisata Iman-Bangun-Desa
Laehole II. Selama perjalanan menuju TWA Sicike-cike, kami disuguhkan dengan
pemandangan-pemandangan yang sangat luar biasa. Saya sendiri, merasa seperti
berada di sebuah tempat yang hampir mirip dengan negara impianku Swiss. Wah, ternyata
Swiss ada di Propinsi Sumatera Utara. Dari Padang yang hijau, terdapat
kuda-kuda yang cantik di tepi jalan dan daun-daun yang satu dua berguguran
menambah romantis suasana. Perbukitan yang hijau yang meliuk-liuk sangat cantik
sekali. Saya dan teman-teman sangat menikmati perjalanan ini. Walaupun sesekali
ada rerintik hujan yang membersamai kami dalam perjalanan.
Kami
sampai di pintu masuk TWA Sicike-cike menjelang senja. Langit sudah perlahan
menuju gelap. Karena kami belum mendirikan tenda. Untuk sementara, menunggu
menjelang pagi. Kami terpaksa menginap di sebuah gubuk polisi hutan yang masih
setengah jadi, Suhu malam itu mencapai 18º Celsius, Dinginnya samapi ke tulang.
Karena kam baru hari pertama menginjakkan di sini dan kedepannya mungkin akan
terbiasa. Kami yang perempuan harus memasak nasi dan lauk untuk makan malam
kami.
Pertama
menjejaki pintu masuk Sicike-cike. Ada aura yang lain, misterius menyeruak.
Enrahlah, sayapun tak bisa mengungkapnya. Hanya sedikit berbeda dengan biasa
tempat saya tinggal. Teman-temanpun merasakan hal itu. Namun, kami tetap
berusaha tenang. Karena kami ke sini untuk niat baik bukan merusak. Daerah ini belum
tersentuh listrik. Alhasil malam itu gelap gulita dan hanya beberapa lampu teplok
yang tak begitu terang menemani kami.
Pesan yang selalu kami ingat ketika memasuki hutan ini dari masyarakat setempat
adalah agar berhati-hati masuk ke hutan ini karena banyak orang kesasar di TWA
Sicike-cike. Teman saya ada yang asal Dairi dan dia bercerita tentang
kesakralan TWA Sicike-cike. Informasi tersebut mereka peroleh dari seorang suku
Pakpak bernama Konstan Capah. Konon, banyak pengunjung yang diganggu arwah
dengan cara menyesatkan pengunjung, sehingga tak tahu jalan pulang. Peneliti
Jerman pernah kesasar beberapa hari di sana, dan mahasiswa yang berkunjung
digigiti sesuatu ketika mandi-mandi, sampai ia minta ampun di danau pertama.
Apapun
yang kita lakukan adalah tergantung dengan niat. Kami harus selalu menjaga
kebersihan hati jika tidak mau diganggu. Sebelum melakukan penelitian di Hutan
TWA Sicike-cike ini. Kami harus mengikuti sebuah prosedur adat yang disarankan
Konstan Capah dan demi kebaikan kami sebagai pengunjung. Atas sarannya, kami harus
mengikuti ritual adat sipitu marga, yakni menyediakan pelleng (makanan khas
Suku Pakpak), pisang, nditak, lae rimo mukur, gatap, timun, dan berbagai
tambahan buah lainnya. Kami yang terdiri dari 75 orang tidak semuanya mengikuti
prosedur. Hanya beberapa orang sebagai perwakilan yang mengikuti prosedur itu
di rumah ketua adat. Sedangkan saya, termasuk yang tidak mengikuti ritual
karena harus memasak dengan teman-teman yang lainnya untuk menyiapkan makan
malam nanti.
Mengejar
waktu yang singkat, teman-teman pun mulai memotong dua ayam yang kami bawa dari
Medan, beserta nasi yang diaduk dengan air perasan kunyit, sekaligus belajar
membuat makanan khas Sidikalang. Inilah saatnya mereka menumbuk beras untuk
nditak, dan menyusun buah sesuai tata letaknya. Tentang ritual ini seorang
teman angkatan saya yang lebih mengerti. Karena dialah yang mengikuti ritual
tersebut. Dan penjelasan tentang ritual kedepan adalah pemaparan dari teman
saya ini. Dahulu, pelleng identik dengan peristiwa mergeraha (perang), dan
selalu disajikan untuk para pemuda yang hendak maju ke medan tempur untuk
mempertahankan haknya. Bumbu pedas yang sengaja ditambahkan pada makanan ini
dimaksudkan dapat memacu semangat dan keberanian para ksatria Pakpak. Dari
jenis makanan pedas ini, pemuda mencoba menyatukan dan merebut Pegagan, Keppas,
Simsim, Kelasen, dan Boang, lima daerah yang didiami Suku Pakpak yang sengaja
dipecah penjajah. Sampai saat ini, tradisi memakan pelleng masih banyak
dilaksanakan pada seremoni hajatan. Memakan pelleng bisa membuat semangat
membara. Tetapi menurut cerita teman yang mengikuti ritual mereka hanya
menerima rasa pedasnya, dan membuat liur mencair tak ketulungan. Ada
kecenderungan di tengah masyarakat, untuk menghargai makanan khas ini, mereka
tidak menjual paket makanan pelleng. Mereka menuturkan bahwa kesakralannya
bukan untuk dikomersilkan. Sekitar dua jam kemudian, sudah tersaji ayam
panggang cincang “ekspres” sebagai lauk nasi kuning. Sangat beraroma dan
menggoda lidah. Dengan memakai pakaian khas Pakpak, oles, dimulailah seremoni
yang dibuka dengan pembacaan sodip, semacam mantra dalam Bahasa Pakpak. Usai
berdoa sejenak, saatnya makan hidangan yang terkenal dengan kepedasannya
tersebut. Waduh, hancur. Tapi orang Pakpak adalah jenius tradisional. Rasa
pedas kemudian disembuhkan dengan meminum lae rimo mukur (air jeruk purut).
Luar biasa, rasa pedas itu hilang dalam sekejap. Apakah kami sudah siap untuk
berperang? Gatap (daun sirih), disisipkan ke pinggiran danau yang diyakini
meninggalkan situs peradaban yang hilang, kemudian tepung beras giling sedikit
ditaburkan mengelilingi tenda kami. Banyak di antara rombongan yang menanyakan
keampuhan ramuan itu. Kita semua mungkin tidak tahu.
Kami
yang menunggu di pos polisi hutan sudah selesai menyiapkan makan malam .
Teman-teman yang baru mengikuti ritual itu bercerita dengan takjub sambil kami
menyantap makan malam di pos yang layaknya gubuk itu dengan remang cahaya lampu
teplok. Selesai makan malam, kami harus istirahat untuk menyiapkan tenaga untuk
mendirikan tenda keesokan harinya. Ah, malam ini sungguh pengalaman yang sangat
menarik. Dengan suhu 18º Celcius dimana pos yang hanya beratap dan tidak
berdinding. Langit-langitpun masih bisa ditatap dengan banyak bintang bertabur,
menemani kami tidur malam ini.
Keesokan
harinya, kami bersiap-siap menuju lokasi pendirian tenda. Lokasi harus ditempuh
dengan berjalan kaki lagi. Melewati
kebun warga berupa kol, terong belanda, kopi dan tanaman lainnya membuat saya
tak berkedip memandangi alam sekitar ciptaan Tuhan itu. Kami juga harus meniti
sebuah jembatan yang hanya terdiri dari sebatang pohon yang tidak terlalu besar
dan kecil. Awalnya saya dan beberapa teman ada yang ragu untuk melewati
jembatan itu, apalagi melihat sungai jernih di bawahnya yang agak sedikit
menyeramkan, jika terjatuh di bawah jembatan itu, ntah apalah jadinya. Akan
tetapi saya harus memberanikan diri. Saya harus yakin, saya bisa. Dan
teman-teman yang lain juga memotivasi saya bahwa meniti jembatan itu adahal hal
mudah. Akhirnya sayapun berhasil melewatinya. Tak jauh dari jembatan itu
kamipun mendirikan 10 tenda untuk kami tinggali 5 hari ke depan.
***
Lima
hari berada di rawa dataran tinggi TWA Sicike-cike sudah cukuplah bagi kami
untuk mengenal kekayaan flora dan fauna beserta faktor fisiknya. Dibantu tiga
pemandu, kami menerapkan metode ilmiah, menganalisis keberadaan hutan Taman
Wisata Alam (TWA) tersebut yang dibagi atas tiga tim, yakni tim tumbuhan, hewan
dan perairan. Salah satu yang menjadi perhatian kami adalah anggrek dan
Nepenthes spp (kantung semar), di samping banyak lagi tumbuhan dataran tinggi
lainnya. Tak ketinggalan pula bunga bangkai (Rafflessia sp.) yang sedang mekar
seukuran kepalan tangan. Intensitas cahaya yang masuk cukup baik untuk
pertumbuhan kedua jenis tanaman eksotis ini. Di sinilah pertama kalinya saya
melihat bunga bangkai. Di kisaran danau yang lebih terbuka, sinar matahari
dapat masuk sepanjang hari. Sekitar 112 jenis anggrek terfokus pada ketiga
danau tersebut. Anehnya, kami tidak pernah menemukan ikan di sepanjang danau
itu. Penduduk kerap masuk hutan mengambil beberapa petik anggrek untuk dibuat
ramuan obat.
Danau
pertama mempunyai jumlah anggrek tertinggi dan puluhan jenis Nephentes. Di
titik inilah surga anggrek untuk Sumatera Utara, bahkan diduga surga anggrek
terbaik untuk Sumatera secara keseluruhan. Lain lubuk lain ikannya, adalah
ungkapan nyata bagi keanekaragaman hayati. Geografi yang berbeda diikuti faktor
fisik (ketinggian, kelembaman, suhu udara dan tanah, intensitas cahaya, pH dan
kecepatan angin) yang berbeda pula. Kondisi inilah yang mengilhami tidak adanya
ikan ditemukan di hutan ini, kecuali ikan gobi. Konon, ikan gobi ini bisa
dijadikan obat. “Ikan gobi yang berwarna kemerahan adalah obat paling ampuh di
sini,” terang salah satu pemandu. Selain itu, di danau kedua dan ketiga ditemukan
dua jenis belibis dari suku Anatidae. Sedikitnya ada 15 ekor yang kami jumpai.
Belibis ini kerap terbang ke ladang dan ditangkap penduduk. Di tengah hutan,
belibis ini sangat terjamin keselamatannya. Di saat-saat istirahat di tepi
danau, pemandu yang tahu persis akan legenda danau ini mengisahkan terbentuknya
ketiga danau tersebut. Dahulu, hutan ini adalah satu perkampungan kecil. Ada
keluarga rukun yang mempunyai tujuh anak. Mereka bekerja sebagai petani dengan
memelihara pesuruh. Alkisah, si ibu menyuruh pesuruhnya mengantarkan makanan
untuk suami dan anaknya yang bekerja di ladang. Di tengah perjalanan, pesuruh
mencium aroma makanan dan tergoda untuk menyantapnya. Lalu ia menggantinya
dengan kotoran. Ketika makanan dibuka si ayah dan anak-anaknya, mereka terkejut,
lalu melaporkan kejadian ini kepada si ibu. Si ibu murka. Ia meluapkan
kemarahannya dengan memandikan kucing yang berakibat pada datangnya hujan terus
menerus sehingga menenggelamkan perkampungan. Setelah mulai surut, tinggalah
air sisa yang selanjutnya menjadi danau. Ketujuh anak tersebut selamat dan
ketujuh anak inilah yang menjadi calon sipitu marga (tujuh marga) Pakpak Suak
Keppas. Hingga sekarang, memandikan kucing bagi suku Pakpak adalah pantang.
Sampai sekarang, marga Capah, Bintang, Ujung, Angkat, Kudadiri, Gajahmanik, dan
Sinamo, masih mengakui tempat itu sebagai asal nenek moyang mereka. Ketujuh
marga ini sering mengunjungi Sicike-cike dan mengikuti perkembangannya walaupun
mereka sudah banyak terpencar ke mana-mana. Suku Pakpak yang hanya dijajah 10
tahun ini memang sangat mudah beradaptasi dan hampir manguasai semua Bahasa
Batak. Capah, marga tertua dari sipitu marga, termasuk salah satu suku tertua
di Tanah Batak. Sampai sekarang, menurut perkiraan Konstan Capah, jumlah marga
Capah tidak bertambah, hanya dalam hitungan ratusan saja. Suku Pakpak merupakan
suku yang paling mudah untuk berbaur dan ber-akulturasi dengan suku pendatang
seperti Batak Toba dan Karo. Proses pembauran budaya dengan suku pendatang
cenderung melunturkan budaya asli suku tersebut. Orang Pakpak sendiri banyak
menggunakan bahasa selain Bahasa Pakpak. Pernah isu beredar, dan cukup mengkhawatirkan
para penghulu adat, bahwa Bahasa Pakpak bisa saja punah.
Selama lima hari menjejaki hutan ini pastinya kami
telah meninggalkan jejak dan bekas. Mungkin, sudah banyak tanaman yang sudah
kami pijak. 75 Orang selama lima hari, berlalu lalang di hutan tersebut pastinya
banyak tanaman yang kami potong untuk lahan tenda kami berdiri. Sudah berapa
banyak buangan CO2 kami. Untuk menetralisirnya. Di hari ke empat, sore
harinya. Kami bersama penduduk menanam 100 pohon mahoni di dalam hutan dan di
kisaran pemukiman penduduk yang diharapkan dapat menggantikan tumbuhan-tumbuhan
yang kami potong ketika membuat tenda. Saya sendiri, ada menanam 5 pohon mahoni
mahoni waktu itu. Sekarang pohon mahoni itu mungkin sudah bertambah besar.
Malam
terakhir, kami mengadakan presentasi hasil kegiatan meneliti kami di hutan TWA
Si cike-cike ini. Kami mengundang pemandu dan kepala desa untuk mendengarkan dan mendiskusikan hasil
penelitian kami. Diskusinya sangat menarik. Berbagain pertanyaan muncul dalam
diskusi ini. Kami sendiri yang dari awal terbagi menjadi beberapa kelompok.
harus mempresentasikan hasil kegiatan selama beberapa hari ini. Yang nantinya,
setelah kembali ke kampus kami akan menyatukan data dari penelitian di hutan
TWA Sicike-cike ini. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tentang keberadaan TWA
Sicike-cike. Diskusi yang sangat menarik apalagi ketika timbul pertanyaan
mengapa anggrek dan Nephentes terpusat di danau, dan mengapa ikan tak bisa
hidup di sana walaupun sudah dibenihkan. Diskusi yang luar biasa itu, diskusi yang
hanya beratapkan langit hutan TWA Sicike-cike merupakan salah satu diskusi yang
sangat berkesan untuk saya sendiri, begitupun dengan teman-teman. Diskusi hasil
kegiatan kami ini, baru selesai jam setengah tiga pagi setelah kami sama-sama
sepakat berhenti beragumentasi karena cuaca terlalu dingin. Bagaimana dengan
anda, anda tidak mau bertanya juga? Akhirnya kamipun kembali ke tenda dan
menikmati malam terakhir di Hutan TWA Sicike-cike karena keesokan harinya kami
harus kembali ke Medan.
Akhirnya
kamipun meninggalkan Hutan TWA Sicike-cike. Sudah banyak hutan yang saya
kunjungi. Akan tetapi entah kenapa TWA Sicike-cike sangat berkesan di hati
saya, bahkan teman yang lain juga merasakannya. Ketika meninggalkannya tak
terasa buliran hangat dan bening dari mata saya mengalir. Saya menemukan cipataan
Tuhan yang sangat indah. Surganya anggrek, dan Nephentes sangat banyak ditemui
di TWA Sicike-cike ini. Sebelum meninggalkan TWA Sicike-cike, kamipun berfoto
bersama. Meninggalkan jejak keabadian bahwa kami pernah ke sini. Suatu saat,
saya ingin mengunjungimu lagi TWA Sicike-cike. Warna-warni anggreknya luar
biasa. Sangat melekat di hati-hati kami. Saya tidak akan melupakan angin dan
suasana yang begitu tenang di sekitar Tiga Danau Di TWA sicikeh-cike. Bahkan
sejuk anginnya masih melekat di kulit jika kita membayangkan tempat yang satu
ini. Bagaimana dengan anda? Maukah berkunjung ke Tiga Danau TWA Sicike-cike?
Medan,
30 Juni 2012. Pukul 23:00 WIB
Beberapa foto hasil Jepretan teman saya AJ. Siregar
Potret Oleh A.J Siregar
Foto (bunga) yg terakhir, keren banget!
BalasHapusItu temen yang jepret. Nephentes di sicike-cike.
HapusSemangat mengindonesiakan indonesia...
BalasHapussemangat Indonesia
salam anak negeri
mengundang blogger Indonesia
Lounge Event Tempat Makan Favorit Blogger+ Indonesia
Salam Spirit Blogger Indonesia
Mas Adang N M, makasi infonya ya :). Duh, Sarah baru pemula banget jadi blogger. Harus banyak belajar lagi...
BalasHapussatu lagi nature beauty yang dimiliki indonesia :D, btw foto - foto bunganya cakep2 tuh :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusApalagi lihat langsung Mas, lebih cakep :D
HapusSama Kak... Saya juga baru tau tentang keberadaan danau ini ketika saya (saat ini) berumur 21 tahun, itupun dari tulisan Kak ni.
BalasHapusAlhamdulillah, bermanfaat :D
Iya Zahid hehhe. Ayo kapan-kapan ke danau ini. Salam kenal ya Zahid :)
Hapusitu luas danaunya aja 575 h atau keseluruhan dengan hutannya
BalasHapusoia satu lagi
foto danaunya kog ga ada ya
SEJARAH MASIH BANYAK YANG HARUS DIRALAT TUH....
BalasHapus