Sabtu, 30 Juni 2012

Tiga Danau di Taman Wisata Alam Sicike-cike, Surga Anggrek yang terpencil.

   
Tiga Danau di Taman Wisata Alam Sicike-cike, Surga Anggrek yang terpencil.

Berbicara mengenai Indonesia memang tak akan habisnya dalam berlembar-lembar tulisan pada sebuah buku.Hal ini, karena negara Indonesia memiliki wilayah luas dan terdiri dari pulau-pulau yang yang sangat banyak dan masing-masing punya keunikan tersendiri baik masyarakat, adat istiadatnya, keanekaragaman budaya dan hal apapun yang sangat luar biasa. Untuk menuliskan sesuatu yang melekat dengan Indonesia merupakan tantangan yang sangat menarik. Sebagai Mahasiswa Biologi  USU yang berdomisili di Medan, saya merasa sangat minim sekali dalam mempelajari adat budaya bahkan alam Indonesia secara langsung.  Melihat dan merasakannya. Saya masih menjejakkan kaki hanya di seputaran Sumatera Utara. Itupun, belum semua tempat yang lekat dengan Sumatera Utara bisa saya jejaki dan pahami.

Namun kali ini, saya akan bercerita tentang sebuah pengalaman yang sangat berarti untuk saya. Pengalaman yang tidak pernah telupakan. Lima hari berkunjung di Hutan TWA Sicike-cike tahun 2008 lalu. Lima hari untuk sedikit memahami. Karena pengalaman ini membut saya mengerti mengenai sedikit potongan mozaik-mozaik yang sangat lekat dengan Indonesia. Ya, hanya beberapa mozaik diantara mozaik yang masih banyak bisa ditemukan di sudut bumi Indonesia lainnya. Dan mozaik itu pastinya terdapat diantara Sabang sampai Meuroeke.

Di Sumatera Utara terdapat beberapa danau. Salah satu yang paling terkenal adalah Danau Toba. Siapa yang tidak kenal dengan danau yang satu ini. Danau Toba merupakan Danau terbesar di Indonesia. Bahkan alamnya terkenal sampai mancanegara. Namun selain Danau Toba. Sumatera Utara juga mempunyai beberapa danau yang tak kalah cantiknya yaitu Danau Lau KAwar, Danau Siais dan tak ketinggalan pula Tiga Danau di TWA  Sicike-cike yang sangat luar biasa cantik topografinya. Bahkan, saya yang sudah lahir dan besar di Medan, baru mengenal danau ini ketika saya berumur 21 tahun. Saya merasa beruntung dalam menjejaki TWA yang satu ini. TWA sicike-sike, surga anggrek yang tersudut, terpencil, karena banyak orang yang belu kenal tempat yang eksotis ini.





Kenapa kami menyebutnya sebagai surga anggrek yang tersudut dan terpencil? Saya akan memaparkan perjalanan saya dengan teman-teman ke TWA sicike-cike.

***

Secara administratif, Taman Wisata Alam Sicike-cike termasuk Desa Pancar Nuli, Kecamatan Sitinjo, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Pada umumnya keadaan topografi lapangan TWA Sicike-cike sebagian bergelombang berat dan sebagian bergelombang sedang dan ringan, dengan ketinggian antara 1.500-2.000 m dpl.
Keadaan vegetasi di TWA Sicike-cike merupakan hutan hujan tropis pegunungan dengan jenis-jenis tumbuhan antara lain Samponus bunga (Dacrydium junghuhnii), Kemenyan (Styrax benzoin), Kecing (Quercus sp) dan Haundolok (Eugenia sp) dan terutama tumbuhan dari jenis anggrek dan Nephentes. Selain flora terdapat beberapa jenis satwa yang dapat dijumpai antara lain beruang madu, kambing hutan, harimau, babi hutan dan rusa dan beberapa jenis unggas yang terdapat si sekitar TWA tersebut.

Di samping keadaan alamnya sendiri yang sanagt potensial sebagai tempat wisata juga terdapat beberapa obyek yang dapat dinikmati, antara lain keindahan danau, gejala alam dan lain sebagainya. Beberapa kegiatan wisata yang dapat dilakukan antara lain adalah lintas alam, berkemah serta foto hunting. Hutan Taman Wisata Alam Sicike-cike, dengan potensi flora dan fauna yang dapat dijadikan sebagai laboratorium penelitian hutan. Keberadaan kawasan ini juga memberikan manfaat bagi penduduk sebagai sumber air resapan, bila dikembangkan akan menjai obyek wisata yang potensial pada masa mendatang.

Tetapi perbukitan ini lebih penting scara ekologis karena tiga buah sungai yaitu Lae Pandaroh, Lae Simblln, dan Lae Mbilulu berhulu disana. Air minum dan irigasi di tiga kecamatan sangat tergantung pada kelestarian Hutan Sicike-Cike.

 Adanya danau-danau di Sumatera selalu saja mempunyai legendanya masing-masing. Masyarakat di sekitar danau pasti mempunyai legenda yang sangat ajaib dan menari tentang asal-usul terjadinya danau tersebut. Walau berbeda-beda kisah yang menyertainya akan tetapi semua cerita itu mengandung pesan moral, nasehat untuk anak cucu agar selalu melakukan kebaikan kedepannya. Tidak hanya di Sumatera, bahkan di bagian Indonesia lainnya juga seperti itu mengandung pesan-pesan yang kuat dari semua legenda, cerita yang ada.

Pada tahun 2008. Saya dan teman-teman satu angkatan didampingi oleh beberapa dosen Biologi FMIPA USU mengunjungi lokasi yang unik ini. Tiga Danau di  TWA Sicike-cike yang terletak di Kabupaten Dairi adalah sebuah rawa dataran tinggi seluas 575 hektar. Perjalanan ditempuh sekitar enam jam dengan mengendarai Bus Sinabung. Adapun, rute yang kami lewati adalah Medan-Berastagi-Kabanjahe-Merek-Sumbul-Taman Wisata Iman-Bangun-Desa Laehole II. Selama perjalanan menuju TWA Sicike-cike, kami disuguhkan dengan pemandangan-pemandangan yang sangat luar biasa. Saya sendiri, merasa seperti berada di sebuah tempat yang hampir mirip dengan negara impianku Swiss. Wah, ternyata Swiss ada di Propinsi Sumatera Utara. Dari Padang yang hijau, terdapat kuda-kuda yang cantik di tepi jalan dan daun-daun yang satu dua berguguran menambah romantis suasana. Perbukitan yang hijau yang meliuk-liuk sangat cantik sekali. Saya dan teman-teman sangat menikmati perjalanan ini. Walaupun sesekali ada rerintik hujan yang membersamai kami dalam perjalanan.
Kami sampai di pintu masuk TWA Sicike-cike menjelang senja. Langit sudah perlahan menuju gelap. Karena kami belum mendirikan tenda. Untuk sementara, menunggu menjelang pagi. Kami terpaksa menginap di sebuah gubuk polisi hutan yang masih setengah jadi, Suhu malam itu mencapai 18º Celsius, Dinginnya samapi ke tulang. Karena kam baru hari pertama menginjakkan di sini dan kedepannya mungkin akan terbiasa. Kami yang perempuan harus memasak nasi dan lauk untuk makan malam kami.

Pertama menjejaki pintu masuk Sicike-cike. Ada aura yang lain, misterius menyeruak. Enrahlah, sayapun tak bisa mengungkapnya. Hanya sedikit berbeda dengan biasa tempat saya tinggal. Teman-temanpun merasakan hal itu. Namun, kami tetap berusaha tenang. Karena kami ke sini untuk niat baik bukan merusak. Daerah ini belum tersentuh listrik. Alhasil malam itu gelap gulita dan hanya beberapa lampu teplok  yang tak begitu terang menemani kami. Pesan yang selalu kami ingat ketika memasuki hutan ini dari masyarakat setempat adalah agar berhati-hati masuk ke hutan ini karena banyak orang kesasar di TWA Sicike-cike. Teman saya ada yang asal Dairi dan dia bercerita tentang kesakralan TWA Sicike-cike. Informasi tersebut mereka peroleh dari seorang suku Pakpak bernama Konstan Capah. Konon, banyak pengunjung yang diganggu arwah dengan cara menyesatkan pengunjung, sehingga tak tahu jalan pulang. Peneliti Jerman pernah kesasar beberapa hari di sana, dan mahasiswa yang berkunjung digigiti sesuatu ketika mandi-mandi, sampai ia minta ampun di danau pertama.

Apapun yang kita lakukan adalah tergantung dengan niat. Kami harus selalu menjaga kebersihan hati jika tidak mau diganggu. Sebelum melakukan penelitian di Hutan TWA Sicike-cike ini. Kami harus mengikuti sebuah prosedur adat yang disarankan Konstan Capah dan demi kebaikan kami sebagai pengunjung. Atas sarannya, kami harus mengikuti ritual adat sipitu marga, yakni menyediakan pelleng (makanan khas Suku Pakpak), pisang, nditak, lae rimo mukur, gatap, timun, dan berbagai tambahan buah lainnya. Kami yang terdiri dari 75 orang tidak semuanya mengikuti prosedur. Hanya beberapa orang sebagai perwakilan yang mengikuti prosedur itu di rumah ketua adat. Sedangkan saya, termasuk yang tidak mengikuti ritual karena harus memasak dengan teman-teman yang lainnya untuk menyiapkan makan malam nanti.

Mengejar waktu yang singkat, teman-teman pun mulai memotong dua ayam yang kami bawa dari Medan, beserta nasi yang diaduk dengan air perasan kunyit, sekaligus belajar membuat makanan khas Sidikalang. Inilah saatnya mereka menumbuk beras untuk nditak, dan menyusun buah sesuai tata letaknya. Tentang ritual ini seorang teman angkatan saya yang lebih mengerti. Karena dialah yang mengikuti ritual tersebut. Dan penjelasan tentang ritual kedepan adalah pemaparan dari teman saya ini. Dahulu, pelleng identik dengan peristiwa mergeraha (perang), dan selalu disajikan untuk para pemuda yang hendak maju ke medan tempur untuk mempertahankan haknya. Bumbu pedas yang sengaja ditambahkan pada makanan ini dimaksudkan dapat memacu semangat dan keberanian para ksatria Pakpak. Dari jenis makanan pedas ini, pemuda mencoba menyatukan dan merebut Pegagan, Keppas, Simsim, Kelasen, dan Boang, lima daerah yang didiami Suku Pakpak yang sengaja dipecah penjajah. Sampai saat ini, tradisi memakan pelleng masih banyak dilaksanakan pada seremoni hajatan. Memakan pelleng bisa membuat semangat membara. Tetapi menurut cerita teman yang mengikuti ritual mereka hanya menerima rasa pedasnya, dan membuat liur mencair tak ketulungan. Ada kecenderungan di tengah masyarakat, untuk menghargai makanan khas ini, mereka tidak menjual paket makanan pelleng. Mereka menuturkan bahwa kesakralannya bukan untuk dikomersilkan. Sekitar dua jam kemudian, sudah tersaji ayam panggang cincang “ekspres” sebagai lauk nasi kuning. Sangat beraroma dan menggoda lidah. Dengan memakai pakaian khas Pakpak, oles, dimulailah seremoni yang dibuka dengan pembacaan sodip, semacam mantra dalam Bahasa Pakpak. Usai berdoa sejenak, saatnya makan hidangan yang terkenal dengan kepedasannya tersebut. Waduh, hancur. Tapi orang Pakpak adalah jenius tradisional. Rasa pedas kemudian disembuhkan dengan meminum lae rimo mukur (air jeruk purut). Luar biasa, rasa pedas itu hilang dalam sekejap. Apakah kami sudah siap untuk berperang? Gatap (daun sirih), disisipkan ke pinggiran danau yang diyakini meninggalkan situs peradaban yang hilang, kemudian tepung beras giling sedikit ditaburkan mengelilingi tenda kami. Banyak di antara rombongan yang menanyakan keampuhan ramuan itu. Kita semua mungkin tidak tahu.

Kami yang menunggu di pos polisi hutan sudah selesai menyiapkan makan malam . Teman-teman yang baru mengikuti ritual itu bercerita dengan takjub sambil kami menyantap makan malam di pos yang layaknya gubuk itu dengan remang cahaya lampu teplok. Selesai makan malam, kami harus istirahat untuk menyiapkan tenaga untuk mendirikan tenda keesokan harinya. Ah, malam ini sungguh pengalaman yang sangat menarik. Dengan suhu 18º Celcius dimana pos yang hanya beratap dan tidak berdinding. Langit-langitpun masih bisa ditatap dengan banyak bintang bertabur, menemani kami tidur malam ini.

Keesokan harinya, kami bersiap-siap menuju lokasi pendirian tenda. Lokasi harus ditempuh dengan berjalan kaki lagi.  Melewati kebun warga berupa kol, terong belanda, kopi dan tanaman lainnya membuat saya tak berkedip memandangi alam sekitar ciptaan Tuhan itu. Kami juga harus meniti sebuah jembatan yang hanya terdiri dari sebatang pohon yang tidak terlalu besar dan kecil. Awalnya saya dan beberapa teman ada yang ragu untuk melewati jembatan itu, apalagi melihat sungai jernih di bawahnya yang agak sedikit menyeramkan, jika terjatuh di bawah jembatan itu, ntah apalah jadinya. Akan tetapi saya harus memberanikan diri. Saya harus yakin, saya bisa. Dan teman-teman yang lain juga memotivasi saya bahwa meniti jembatan itu adahal hal mudah. Akhirnya sayapun berhasil melewatinya. Tak jauh dari jembatan itu kamipun mendirikan 10 tenda untuk kami tinggali 5 hari ke depan.

***

Lima hari berada di rawa dataran tinggi TWA Sicike-cike sudah cukuplah bagi kami untuk mengenal kekayaan flora dan fauna beserta faktor fisiknya. Dibantu tiga pemandu, kami menerapkan metode ilmiah, menganalisis keberadaan hutan Taman Wisata Alam (TWA) tersebut yang dibagi atas tiga tim, yakni tim tumbuhan, hewan dan perairan. Salah satu yang menjadi perhatian kami adalah anggrek dan Nepenthes spp (kantung semar), di samping banyak lagi tumbuhan dataran tinggi lainnya. Tak ketinggalan pula bunga bangkai (Rafflessia sp.) yang sedang mekar seukuran kepalan tangan. Intensitas cahaya yang masuk cukup baik untuk pertumbuhan kedua jenis tanaman eksotis ini. Di sinilah pertama kalinya saya melihat bunga bangkai. Di kisaran danau yang lebih terbuka, sinar matahari dapat masuk sepanjang hari. Sekitar 112 jenis anggrek terfokus pada ketiga danau tersebut. Anehnya, kami tidak pernah menemukan ikan di sepanjang danau itu. Penduduk kerap masuk hutan mengambil beberapa petik anggrek untuk dibuat ramuan obat.





Danau pertama mempunyai jumlah anggrek tertinggi dan puluhan jenis Nephentes. Di titik inilah surga anggrek untuk Sumatera Utara, bahkan diduga surga anggrek terbaik untuk Sumatera secara keseluruhan. Lain lubuk lain ikannya, adalah ungkapan nyata bagi keanekaragaman hayati. Geografi yang berbeda diikuti faktor fisik (ketinggian, kelembaman, suhu udara dan tanah, intensitas cahaya, pH dan kecepatan angin) yang berbeda pula. Kondisi inilah yang mengilhami tidak adanya ikan ditemukan di hutan ini, kecuali ikan gobi. Konon, ikan gobi ini bisa dijadikan obat. “Ikan gobi yang berwarna kemerahan adalah obat paling ampuh di sini,” terang salah satu pemandu. Selain itu, di danau kedua dan ketiga ditemukan dua jenis belibis dari suku Anatidae. Sedikitnya ada 15 ekor yang kami jumpai. Belibis ini kerap terbang ke ladang dan ditangkap penduduk. Di tengah hutan, belibis ini sangat terjamin keselamatannya. Di saat-saat istirahat di tepi danau, pemandu yang tahu persis akan legenda danau ini mengisahkan terbentuknya ketiga danau tersebut. Dahulu, hutan ini adalah satu perkampungan kecil. Ada keluarga rukun yang mempunyai tujuh anak. Mereka bekerja sebagai petani dengan memelihara pesuruh. Alkisah, si ibu menyuruh pesuruhnya mengantarkan makanan untuk suami dan anaknya yang bekerja di ladang. Di tengah perjalanan, pesuruh mencium aroma makanan dan tergoda untuk menyantapnya. Lalu ia menggantinya dengan kotoran. Ketika makanan dibuka si ayah dan anak-anaknya, mereka terkejut, lalu melaporkan kejadian ini kepada si ibu. Si ibu murka. Ia meluapkan kemarahannya dengan memandikan kucing yang berakibat pada datangnya hujan terus menerus sehingga menenggelamkan perkampungan. Setelah mulai surut, tinggalah air sisa yang selanjutnya menjadi danau. Ketujuh anak tersebut selamat dan ketujuh anak inilah yang menjadi calon sipitu marga (tujuh marga) Pakpak Suak Keppas. Hingga sekarang, memandikan kucing bagi suku Pakpak adalah pantang. Sampai sekarang, marga Capah, Bintang, Ujung, Angkat, Kudadiri, Gajahmanik, dan Sinamo, masih mengakui tempat itu sebagai asal nenek moyang mereka. Ketujuh marga ini sering mengunjungi Sicike-cike dan mengikuti perkembangannya walaupun mereka sudah banyak terpencar ke mana-mana. Suku Pakpak yang hanya dijajah 10 tahun ini memang sangat mudah beradaptasi dan hampir manguasai semua Bahasa Batak. Capah, marga tertua dari sipitu marga, termasuk salah satu suku tertua di Tanah Batak. Sampai sekarang, menurut perkiraan Konstan Capah, jumlah marga Capah tidak bertambah, hanya dalam hitungan ratusan saja. Suku Pakpak merupakan suku yang paling mudah untuk berbaur dan ber-akulturasi dengan suku pendatang seperti Batak Toba dan Karo. Proses pembauran budaya dengan suku pendatang cenderung melunturkan budaya asli suku tersebut. Orang Pakpak sendiri banyak menggunakan bahasa selain Bahasa Pakpak. Pernah isu beredar, dan cukup mengkhawatirkan para penghulu adat, bahwa Bahasa Pakpak bisa saja punah.

Selama  lima hari menjejaki hutan ini pastinya kami telah meninggalkan jejak dan bekas. Mungkin, sudah banyak tanaman yang sudah kami pijak. 75 Orang selama lima hari, berlalu lalang di hutan tersebut pastinya banyak tanaman yang kami potong untuk lahan tenda kami berdiri. Sudah berapa banyak buangan CO2 kami. Untuk menetralisirnya. Di hari ke empat, sore harinya. Kami bersama penduduk menanam 100 pohon mahoni di dalam hutan dan di kisaran pemukiman penduduk yang diharapkan dapat menggantikan tumbuhan-tumbuhan yang kami potong ketika membuat tenda. Saya sendiri, ada menanam 5 pohon mahoni mahoni waktu itu. Sekarang pohon mahoni itu mungkin sudah bertambah besar.

Malam terakhir, kami mengadakan presentasi hasil kegiatan meneliti kami di hutan TWA Si cike-cike ini. Kami mengundang pemandu dan kepala desa  untuk mendengarkan dan mendiskusikan hasil penelitian kami. Diskusinya sangat menarik. Berbagain pertanyaan muncul dalam diskusi ini. Kami sendiri yang dari awal terbagi menjadi beberapa kelompok. harus mempresentasikan hasil kegiatan selama beberapa hari ini. Yang nantinya, setelah kembali ke kampus kami akan menyatukan data dari penelitian di hutan TWA Sicike-cike ini. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tentang keberadaan TWA Sicike-cike. Diskusi yang sangat menarik apalagi ketika timbul pertanyaan mengapa anggrek dan Nephentes terpusat di danau, dan mengapa ikan tak bisa hidup di sana walaupun sudah dibenihkan. Diskusi yang luar biasa itu, diskusi yang hanya beratapkan langit hutan TWA Sicike-cike merupakan salah satu diskusi yang sangat berkesan untuk saya sendiri, begitupun dengan teman-teman. Diskusi hasil kegiatan kami ini, baru selesai jam setengah tiga pagi setelah kami sama-sama sepakat berhenti beragumentasi karena cuaca terlalu dingin. Bagaimana dengan anda, anda tidak mau bertanya juga? Akhirnya kamipun kembali ke tenda dan menikmati malam terakhir di Hutan TWA Sicike-cike karena keesokan harinya kami harus kembali ke Medan.

Akhirnya kamipun meninggalkan Hutan TWA Sicike-cike. Sudah banyak hutan yang saya kunjungi. Akan tetapi entah kenapa TWA Sicike-cike sangat berkesan di hati saya, bahkan teman yang lain juga merasakannya. Ketika meninggalkannya tak terasa buliran hangat dan bening dari mata saya mengalir. Saya menemukan cipataan Tuhan yang sangat indah. Surganya anggrek, dan Nephentes sangat banyak ditemui di TWA Sicike-cike ini. Sebelum meninggalkan TWA Sicike-cike, kamipun berfoto bersama. Meninggalkan jejak keabadian bahwa kami pernah ke sini. Suatu saat, saya ingin mengunjungimu lagi TWA Sicike-cike. Warna-warni anggreknya luar biasa. Sangat melekat di hati-hati kami. Saya tidak akan melupakan angin dan suasana yang begitu tenang di sekitar Tiga Danau Di TWA sicikeh-cike. Bahkan sejuk anginnya masih melekat di kulit jika kita membayangkan tempat yang satu ini. Bagaimana dengan anda? Maukah berkunjung ke Tiga Danau TWA Sicike-cike?



Medan, 30 Juni 2012. Pukul 23:00 WIB

Beberapa foto hasil Jepretan teman saya AJ. Siregar


Potret Oleh A.J Siregar

11 komentar:

  1. Foto (bunga) yg terakhir, keren banget!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu temen yang jepret. Nephentes di sicike-cike.

      Hapus
  2. Semangat mengindonesiakan indonesia...
    semangat Indonesia

    salam anak negeri
    mengundang blogger Indonesia
    Lounge Event Tempat Makan Favorit Blogger+ Indonesia

    Salam Spirit Blogger Indonesia

    BalasHapus
  3. Mas Adang N M, makasi infonya ya :). Duh, Sarah baru pemula banget jadi blogger. Harus banyak belajar lagi...

    BalasHapus
  4. satu lagi nature beauty yang dimiliki indonesia :D, btw foto - foto bunganya cakep2 tuh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Apalagi lihat langsung Mas, lebih cakep :D

      Hapus
  5. Sama Kak... Saya juga baru tau tentang keberadaan danau ini ketika saya (saat ini) berumur 21 tahun, itupun dari tulisan Kak ni.
    Alhamdulillah, bermanfaat :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Zahid hehhe. Ayo kapan-kapan ke danau ini. Salam kenal ya Zahid :)

      Hapus
  6. itu luas danaunya aja 575 h atau keseluruhan dengan hutannya
    oia satu lagi
    foto danaunya kog ga ada ya

    BalasHapus
  7. SEJARAH MASIH BANYAK YANG HARUS DIRALAT TUH....

    BalasHapus