Selasa, 04 Februari 2014

SEJARAH PENDIDIKAN DI KOTA MEDAN

SEJARAH PENDIDIKAN DI KOTA MEDAN

Oleh : Maysarah Bakri


Medan adalah Ibukota Sumatera Utara yang terletak di antara 30 301 –300 481 Lintang Utara dan 980 391 –980 471 Bujur Timur dan berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah Utara yang dikelilingi Kabupaten Deli Serdang. Terhitung mulai 21 September 1951 melalui keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara No.66/III/PSU, Kota Medan diperluas tiga kali lipat dan disusul Maklumat Walikota Medan No. 21 tanggal 29 September 1951 dan menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Hektar dan meliputi 4 kecamatan: Medan Baru, Medan Barat, Medan Timur, Medan Selatan.

Kota Medan sangat cepat berkembang karena letak Kota Medan yang strategis. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1973 areal Kotamadya Medan ditambah 21. 380 hektar yang diambil dari daerah Tk. II Kabupaten Deli Serdang, sehingga luasnya bertambah menjadi 26.510 hektar. Kecamatan bertambah dari 4 kecamatan menjadi 11 kecamatan yaitu Medan Belawan, Medan Labuhan, Medan Deli, Medan Sunggal, Medan Denai, Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Baru, Medan Barat, Medan Kota dan Medan Timur. Daerah perluasan keseluruhannya berasal dari Daerah Deli Serdang, tanahnya sebahagian besar berstatus tanah negara/garapan dan sebagian lagi berstatus tanah adat/swapraja yang merupakan tanah pertanian (ladang dan sawah), masih ada juga yang berbentuk rawa-rawa yang dikuasai dan digarap oleh perseorangan yang relatif luas.

Kota Medan merupakan kota yang dinamis. Medan adalah kota terbesar di Pulau Sumatera dan ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Ada 2 faktor yang menyebabkan Kampung Medan Puteri mengalami perkembangan yang pesat yaitu karena:

1. Terletak di antara pertemuan dua sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura yang terletak tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga Kampung Medan Putri merupakan cikal bakal Kota Medan sangat cepat berkembang dan menjadi pelabuhan transit yang sangat penting. Kampung Medan Putri yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura (Sebelah Kantor Walikota sekarang) didirikan oleh Guru Patimpus. Perkembangan Kampung Medan yang sangat cepat tidak terlepas dari adanya perkebunan tembakau yang terkenal dengan Tembakau Delinya.

2. Karena Tembakau Deli dikenal merupakan tembakau terbaik untuk membungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Jacobs Nienhuys, Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu. Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan De Deli Maatscapij di Labuhan, dan melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".

Perpindahan kantor dari Labuhan ke Medan menyebabakan kegiatan menjadi banyak terpusat di Kota Medan, sehingga pada tahun 1870 Belanda membentuk Keresidenan Sumatera Timur dan menetapkan Kota Medan sebagai ibukotanya pada tahun 1884. Pada tahun 1918 pemerintah kolonial menetapkan Kota Medan menjadi Kotapraja, setelah membeli tanah seluas 15,83 km2 dari Sultan Deli untuk kepentingan kota. Untuk dapat mendukung fungsi Kota Medan, maka pada tahun 1908 pemerintah Belanda membangun gedung Gemente yang dikenal sebagai Balai Kota, pada tahun 1911 dibangun pula gedung Kantor Pos yang sampai sekarang masih digunakan dengan fungsi yang sama, terdapat juga pusat pertokoan Kesawan, mulai berdiri dari tahun 1876 yang letaknya tidak jauh dari Kantor Pos dan Balai Kota. Selama beberapa dasawarsa daerah pertokoan ini menjadi pusat perbelanjaan masyarakat Eropa dan mengalami kejayaan sampai tahun 60-an.

Pendidikan sudah dimulai sejak adanya manusia. Pendidikan itu diperoleh dari keluarga, masyarakat sekelilingnya. Perkembangan pendidikan saat ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pendidikan yang terjadi di masa lampau. Dimana pendidikan sisa-sisa zaman kolonial itu masih ada di zaman sekarang. Perkembangan pendidikan di zaman pra kolonial dan ketika zaman kolonial yang mampu melahirkan kaum Intelektual muda Indonesia yang menjadi tokoh sentral dalam pergerakan kebangsaan Indonesia.

Pada awal abad ke 20 ada keinginan dari golongan orang Belanda untuk mengubah cara penjajahannya di Indonesia, golongan ini menyebut dirinya sebagai kelompok etika. Pelopornya adalah Van Deventer. Politik Etika ini terdengar pengaruhnya sampai ke daerah jajahan Belanda di Sumatera Utara. Kehidupan karyawan yang sangat sengsara menyebabkan seringnya terjadi kerusuhan di perkebunan-perkebunan Belanda, bukan hanya karyawan yang tidak senang terhadap pemerintah Belanda tetapi juga penduduk setempat. Akibat seringnya terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh penduduk di perkebunan maka hal ini menimbulkan kerugian pada pihak Belanda sebagai pengusaha perkebunan. Kerusuhan ini harus dihentikan oleh Belanda untuk menjamin keberlangsungan para penanam modal asing yang menanamkan modalnya di perkebunan di Sumatera Timur.

Keadaan seperti ini memaksa pemerintah Belanda untuk mengubah sikapnya terhadap rakyat, dengan mengadakan pendekatan terhadap rakyat. Belanda menggunakan Politik Etika untuk dapat mendekati rakyat. Sekolah-sekolah mulai didirikan pada tahun 1862 yang merupakan sekolah bagi para guru dan bagi daerah yang belum menganut agama dikirim zending bertujuan untuk proses kristenisasi yang merupakan skenario besar Belanda. Hal ini dilakukan karena keadaan masyarakat di Sumatera Timur yang terdiri dari masyarakat Melayu dan Karo. Hubungan kedua etnis ini cukup erat mengingat ada kesamaan rumpun budaya. Belanda mengalami kesulitan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat Melayu dari segi agama, karena budaya masyarakat Melayu dekat dengan budaya Islam. Masyarakat Karo masih menganut kepercayaan animisme sehingga Belanda lebih memilih untuk mendekati masyarakat Karo karena menurut Belanda lebih mudah memasukkan pengaruh agamanya kepada masyarakat Karo yang masih animisme.

Tujuan dilakukannya hal ini adalah untuk dapat memecah hubungan antara suku Karo dengan penduduk Melayu di pesisir agar Belanda dapat mudah meluaskan pengaruh serta usaha perkebunannya di Sumatera Timur. Tahun 1907 Belanda mulai mengembangkan pendidikan atas prakarsa Jenderal Van Heutz yang merupakan salah seorang pendukung golongan liberal yang mendukung diterapkannya Politik Etika di Indonesia. Sekolah-sekolah dibuka juga bukan hanya karena banyak orang yang berhaluan etika tetapi karena kebutuhan akan pegawai rendahan yang mendesak untuk dipekerjakan di perkebunan. Kurikulum yang digunakan hanyalah membaca, menulis dan berhitung saja,  hanya berupa pengetahuan yang paling dasar dan sederhana.

Setelah Sumatera Timur diduduki oleh tentara Jepang pada permulaan tahun 1942, maka berakhirlah pemerintahan Belanda di Sumatera Timur. Sekolah yang menggunakan bahasa Belanda seperti voolkschool, vervogschool, H.I.S, E.L.S., Standart School sebagai bahasa pengantarnya dihapuskan dan diganti dengan sekolah sistem pendidikan Jepang. Sistem pendidikan pada masa pemerintahan Jepang hampir sama dengan sistem pendidikan sekarang. Sekolah Dasar pada masa Pemerintahan Jepang disebut Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko) sedangkan masa Belanda sekolah dasar adalah volkschool. Sekolah ini terbuka bagi semua gologan penduduk. Lama pendidikannya adalah enam tahun.

Setelah Sekolah Dasar dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko). Setelah itu dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu Gakko). Lama pendidikannya tiga tahun untuk SMP dan tiga tahun untuk SMT. Sekolah Kejuruan Menengah yang ada adalah Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakko) dan Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Semmon Gakko). Sistem persekolahan pada zaman Jepang tidak jauh berbeda dengan sistem persekolahan sesudah kemerdekaan. Pelajaran yang diajarkan semuanya dalam bahasa Indonesia dan ditambah dengan bahasa Jepang, latihan jasmani dan latihan baris-berbaris. Pendidikan Sekolah Menengah Jepang sangat singkat sekali karena setelah Jepang bertekuk lutut pada sekutu maka Sekolah Menengah diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan namanya berubah menjadi Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat ini berlangsung dalam suasana perang kemerdekaan. Sekolah terkadang ditutup karena adanya serangan dari Belanda. Guru-guru sering meninggalkan tugas karena ikut serta dalam kegiatan militer demi untuk mempertahankan Republik Indonesia.

Awalnya sekolah menengah Jepang tersebut diteruskan. Sekolah Menengah Umum Jepang berkedudukan di Medan dan Tarutung tetapi Belanda kembali berusaha untuk menduduki kota Medan maka Sekolah Menengah Umum tersebut dipindahkan ke Pematang Siantar. Selain di Medan dan Tarutung Sekolah Menengah Umum tersebut juga didirikan di Padang Sidempuan. Setelah terbentuknya Propinsi Sumatera Utara pada tahun 1948 maka banyak dibangun Sekolah Menengah Umum, karena tamatan Sekolah Menengah telah banyak maka didirikanlah Sekolah Menengah Tinggi di Pematang Siantar. Agresi Militer Belanda I melanda sebahagian besar daerah di Sumatera Utara maka Sekolah Menengah Tinggi kemudian dipindahkan ke Medan dan merupakan sekolah republik yang berada di bawah pendudukan Belanda, Sekolah Menengah Tinggi ini disebut dengan SMA Darurat.

Dengan adanya Agresi Belanda I, sebahagian besar wilayah Sumatera Timur dikuasai oleh Belanda. Daerah yang dikuasai oleh Belanda didirikan sekolah menengah, MULO dan HBS kembali dibuka. Selain itu ada pula sekolah Middelbare School yang sudah menggunakan bahasa pengantar Indonesia dan bahasa pengantar bahasa Belanda, sekolah Middelbare School tidak hanya didirikan di Kota Medan tetapi di daerah lain seperti Pematang Siantar, Tanjung Balai, Tebing Tinggi dan Binjai yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, di Medan sekolah Middelbare School menggunakan bahasa pengantar Belanda. Setelah para siswa tamat dari Middelbare School, mereka masuk sekolah VHO (Voorbeciding tot Hoger Onderwijs). Sekolah ini merupakan sekolah persiapan untuk perguruan yang lebih tinggi. VHO dijadikan SMA Istimewa dan melaksanakan ujian sendiri tetapi setelah tahun 1951 SMA Istimewa ini disamakan dengan SMA biasa dan sampai tahun 1953 di Sumatera Utara hanya memiliki 1 SMA Negeri. SMA Istimewa diubah menjadi SMA Umum berhubung adanya proses Nasionalisasi di Indonesia. Siswa-siswa dapat berasal dari kalangan manapun, hanya saja sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Setelah kemerdekaan sistem pendidikan tidak didasarkan oleh sistem golongan yang berdasarkan bangsa maupun status sosial, berikut adalah tingkatan sekolah setelah kemerdekaan:

Pendidikan terendah di Indonesia adalah Sekolah Dasar. Pada tahun 1945 disebut juga Sekolah Rakyat (SR). Lama pendidikan selama enam tahun. Pendidikan Menengah terbagi atas 2 tingkatan yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Masing-masing tingkatan lamanya tiga tahun. Tingkat pendidikan menengah ini terbagi atas dua jenis yaitu Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional setelah kemerdekaan di segala bidang, memerlukan fondasi berupa kecerdasan. Untuk melaksanakan ini pemerintah telah membangun gedung-gedung sekolah dan menambah tenaga pengajar dalam bentuk Inpres atas kebijakan pemerintah daerah setempat. Karena gedung dan tenaga pengajar merupakan sumber pokok dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Kota Medan sebagai pusat pendidikan di Sumatera Utara dalam memajukan pendidikan telah berusaha memperbanyak gedung-gedung sekolah dan tenaga pengajar sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Walaupun kebutuhan ini masih jauh dari yang diharapkan, namun manfaatnya mulai terasa bagi masyarakat kota dan sekitarnya.

Apabila dibandingkan dengan jumlah pertambahan penduduk, maka sarana pendidikan tidak dapat menampung jumlah anak-anak usia sekolah, baik di tingkat SD apalagi di tingkat SMP dan SMA. Hal ini menyebabkan jumlah angkatan kerja menjadi bertambah karena tidak dapat melanjutkan sekolah. Meningkatnya angkatan kerja tahun 1970an dikarenakan jumlah SMP dan SMA swasta masih sangat terbatas. SMP dan SMA negeri jumlah siswanya telah dibatasi berdasarkan kuota yang disediakan. Hal ini menyebabkan anak-anak usia sekolah yang tidak mendapatkan kesempatan masuk ke sekolah negeri tidak mendapat kesempatan belajar dikarenakan sejumlah sekolah swasta yang ada tidak mampu menampung jumlah usia sekolah yang ada pada saat itu, sebab mereka memiliki kuota siswa yang akan diterima. Di tahun 1970 jumlah sekolah yang ada baik SD, SMP, SMA negeri maupun swasta masih dalam jumlah yang terbatas, terutama di pihak sekolah-sekolah swasta. Sekolah ini masih terbatas sekali, sementara angka usia sekolah meningkat. Sekolah negeri pun tidak banyak seperti sekarang, jadi dapat dikatakan sekolah belum mampu menampung anak usia sekolah pada tahun 1970an.

Perkembangan yang cukup baik terjadi di tahun 1980an. Di masa ini terjadi peningkatan jumlah sekolah yang cukup pesat seperti di tahun 1981, jumlah keseluruhan SD, SMP, SMA baik negeri maupun swasta berjumlah 975 sekolah. Angka ini menunjukkan perkembangan yang baik dari sekolah-sekolah yang ada di Medan. Di tahun 1982 jumlah sekolah di Kota Medan telah berjumlah 1080 sekolah. Di tahun 1983 jumlah sekolah-sekolah di Kota Medan kembali meningkat hingga mampu mencapai 1185 sekolah. Di tahun 1984 sekolah kembali meningkat hingga berjumlah 1207 sekolah. Di tahun 1985 sekolah-sekolah kembali meningkat hingga 1288 sekolah, tahun 1986 berjumlah 1348 sekolah, di tahun 1987 kembali meningkat hingga 1393 sekolah, di tahun 1988 berjumlah 1419 sekolah, tahun 1989 jumlahnya kembali meningkat hingga 1470 sekolah, tahun 1990 jumlahnya hanya bertambah 5 sekolah saja menjadi 1475 sekolah. Dari sini dapat dilihat bahwa perkembangan sekolah tidak begitu teratur setiap tahunnya. Angka pertumbuhan terjadi secara acak. Walaupun demikian dapat dilihat bahwa perkembangan sekolah-sekolah di Medan cukup baik dan dijadikan sebagai alasan bahwa Medan sangat memperhatikan dunia pendidikan dan mampu memenuhi kebutuhannya akan tuntutan dunia pendidikan. Pengelolaan SLTP dan SLTA, IKIP Medan akan menyediakan 9000 guru bagi SLTP dan SLTA untuk Sumatera Utara, ini menunjukkan kebutuhan guru sangat diperlukan bagi sekolah-sekolah. Dilihat dari keterangan diatas bahwa perkembangan sekolah di Sumatera Utara sangat cepat. Hal ini dapat terjadi karena semakin tingginya minat masyarakat untuk mendapat pendidikan, selain itu pemerintah memajukan pendidikan dengan menambah jumlah sekolah-sekolah negeri. Pihak swasta juga tidak kalah banyak membuka sekolah-sekolah dan dengan jumlah yang tidak sedikit, hal ini terjadi karena pemerintah selalu memberi dukungan kepada pihak swasta yang ingin membuka sekolah untuk memajukan pendidikan di kota Medan.

Kota Medan yang dikenal memiliki jargon Pendidikan Kota Medan yaitu Prima yang merupakan singkatan dari Prestasi, Integritas dan Mandiri. Pemerintah Kota Medan memperlihatkan komitmennya dengan terus melakukan peningkatan pada kualitas dan sarana pendidikan antara lain pada program pendirian perpustakaan umum, pendidikan luar sekolah, program online system dan meningkatkan ketersediaan profesionalitas guru dan tenaga pendidik. Diharapkan program ini akan berkelanjutan sebagai upaya menciptakan pemimpin-pemimpin penerus di Kota Medan dan meningkatan pendidikan di Kota Medan menuju ke arah yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar